Wisata Budaya Kerinci

Rentak Kudo
Kerinci. Tari rentak kudo merupakan tari khas Kerinci, tari ini pertama kali dikenalkan oleh warga Siulak. Tarian ini menggambarkan semangat masyrakat Kerinci dalam sekror pertanian pada zaman dahulu.
Tari Rentak Kudo memiliki atraksi mistik yang memukau, karena para penari bisa berbuat aneh seperti, berjalan di atas beling kaca dan berdiri di atas bara api.
Tarian ini bisa kita lihat pada acara akbar di kerinci


 Lesung Gilo

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kerinci, Jambi, menjadwalkan pertunjukan seni khas Kerinci “Lesung Gilo” pada  panggung Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMPDK).
“Lesung Gilo pertunjukan khas dari desa Hiang Kecamatan Sitinjau Laut akan turut dipertunjukkan kepada pengunjung festival danau Kerinci, setelah cukup lama pertunjukan rakyat ini tidak dimainkan masyarakat,” kata Sekretaris Disbudpar Amri Swarta, di Kerinci, Senin.
Dijelaskan Amri pertunjukan permainan “jaelangkungan” berbau magis ini adalah budaya asli masyarakat Kerinci warisan peradaban kebudayaan Proto-Melayu yang masih dipertahankan masyarakat Hiang dan sekitarnya.
Permaianan serupa, tambahnya, sebenarnya telah berkembang dengan nama atau sebutan berbeda-beda ke seantero kabupaten Kerinci dan sekitarnya, bahkan penyebarannya sampai ke kawasan timur Provinsi Jambi yakni kabupaten Muaro Jambi.
“Ada yang menamainya Lesung Gilo, Lukah Gilo, Jangki Gilo, atau Guyang Gilo, Pengapek Gilo atau Kakitaw dan lain sebagainya, yang jelas akarnya dari pertunjukan Lesung Gilo di Hiang Kerinci,” terangnya.
Menurut dia, pertunjukan dari kecamatan Setinjau Laut yang akan diperagakan pada Kamis 9/4 tersebut adalah salah satu pergelaran yang sudah dikemas menjadi seni pertunjukan yang murni untuk kepentingan pengembangan pariwisata dan seni, jadi bukanlah lagi sebatas ritual purba yang mengandung nilai negatif, dan bertentangan dengan paham keyakinan.
Amri mengakui sebelum-sebelumnya, pertujukan permainan tersebut memang sempat mengundang pro dan kotra khususnya di kalangan tokoh agama dan masyarakat pun dicekal dilarang memainkannya.
“Namun kini setelah sekian lama mati suri, dan berkat adanya pembicaraan keterbukaan antara semua lini baik dengan pemkab, budayawan, seniman, tokoh adat dan tokoh agama, akhirnya pertunjukan ini kembali dapat di terima keberadaannya dan kembali mendapatkan tempat untuk bisa disaksikan secara terbuka oleh publik luas,” papar Amri.
Lebih jauh Amri menegaskan sebagai daerah yang merupakan pusat peninggalan peradaban Proto-Melayu yang tersisa dan masih lestari hingga kini, Kerinci memang memiliki banyak tradisi kebudayaan purba yang mengandung nilai kearifan.
Selain Lesung Gilo, sebelumnya tradisi Niti Mahligai yang telah diolah menjadi seni pertunjukan tari juga telah mendapat tempat di mata publik nasional.
Beberapa tradisi ritual purba lainnya seperti tradisi Debus Kerinci yang disebut Marcok, dan Reog Kerinci yang disebut Basambai atau Tulak Bla, kini juga terus dikembangkan untuk diangkat menjadi sajian kepariwisataan yang menarik, dukungan dari semua pihak sangat dharapkan terutama dari tokoh-tokoh agama, kata Amri.
Sumber : Antaranews.com

rantau burung bangau


Jambi (jambitourism.co.id)- Masyarakat Kerinci memiliki tradisi rantau yang unik, khas dan berbeda dari pola rantau masyarakat daerah lain yakni konsep yang meniru prilaku burung bangau.
“Rantaunya masyarakat Kerinci sangat unik dan murni, samasekali berbeda dari kebiasaan rantau masyarakat daerah lain di tanah air, yakni konsep ‘rantau burung bangau’,” kata budayawan sekaligus staf pengajar Universitas Indonesia, Nukman SS, di Jambi, Minggu.
Satwa burung bangau yang banyak terdapat di Kerinci telah menjadi inspirasi dan pelajaran berharga bagi masyarakat.
Burung yang juga termasuk burung imigran tersebut selalu terbang jauh setiap pergantian musim dari belahan bumi utara ke selatan atau sebaliknya, namun Kerinci adalah daerah pasti yang selalu mereka singgahi setiap masa migrasinya.
Burung bangau sudah menjadi simbolisasi bagi pola rantau masyarakat Kerinci sedari dulu yang membuktikan betapa pola hidupa masyarakat sangat menyatu dengan alam.
“Pepatah `sejauh-jauh bangau terbang pulangnya tetap ke kubangan juga` benar-benar diaplikasikan mayarakat dengan terbentuknya konsep merantau murni atau merantai non permanen, merantau bukan pindah kampung halaman,” kata Nukman.
Masyarakat Kerinci justeru samasekali tidak membawa serta kebudayaan atau kebiasaan daerahnya ke daerah rantau, mereka merantau hanya membawa badannya.
“Pola rantau orang Kerinci adalah temporer (sementara), mereka pergi merantau bukan untuk meninggalkan atau pindah kampung halaman melainkan rantau karena misi tertentu yakni untuk penempaan jiwa, pencerdasan diri, dan mengangkat harkat hidup, yang termaktub dalam misi pendidikan, kedinasan, perjuangan, dan kemaslahatan atau dakwah,” kata Nukman.
Hal itu adalah wujud aplikasi nyata dari kekukuhan masyarakat Kerinci terhadap nilai-nilai adat budaya masyarakatnya, seperti pesan petitih “di mana bumi di pijak di situ langit di junjung”, mereka aplikasikan sencara nyata dalam melakoni rantau ke negeri orang.
“Burung bangau tidak pernah berkelahi dengan jenis burung domestik lainnya di tanah persinggahannya seperti belibis, itik, ruwak, puyuh. Burung bangau justeru hadir sebagai hewan yang mengedepankan sikap mutualisme atau hidup saling ketergantungan dan saling menguntungkan dengan satwa lainnya, seperti halnya dengan kerbau,” kata Nukman.
Sama sekali masyarakat Kerinci tidak pernah mau mempertontonkan kebudayaannya kepada publik secara terbuka selain kepada sesama orang Kerinci, meskipun komunitas mereka di daerah rantau sangat besar, kata dia.
Dikatakan, dari sekitar 2 juta jiwa masyarakat Kerinci, setengahnya hidup di perantauan.
Mereka tersebar di berbagai kota di dalam dan luar negeri seperti di Jambi, Padang, Bukit Tinggi, Batam, Palembang, Bengkulu, Jakarta, Surabaya, Kuala Lumpur, Malaka, Mesir dan kota lainnya, semua mereka tergabung dalam oraganisasi paguyuban Himpunan Keluarga Kerinci (HKK).
“Berbicara dengan menggunakan bahasa Kerinci saja di hadapan orang lain mereka sangat sungkan dan segan. Karena itulah pula, Kerinci memiliki bahasa tersendiri atau bahasa khusus yang hanya mereka pergunakan di perantauan jika bertemu dengan sesama orang Kerinci,” kata dia.
(KR-BS/Y006)
Sumber : Antaranews.com

 umoh laheik atau umoh panja
 

JAMBI — Rumah tradisional Kerinci, yakni umoh laheik atau umoh panja, keberadaannya kini semakin langka, bahkan bisa dikatakan telah punah.
“Rumah tradisional Kerinci itu kini telah habis tergantikan oleh rumah-rumah dengan bangunan beton yang permanen. Sangat sulit menemukan ikon itu kini,” ujar peneliti kebudayaan Kerinci, Iskandar, di Kerinci, Senin (23/5/2011).
Menurut Iskandar, hal tersebut terjadi disebabkan berbagai faktor, seperti indikator telah berubahnya pola pikir dan gaya hidup masyarakat menjadi lebih modernis, individualis, dan praktis seperti sekarang, juga karena semakin meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Penyebab lainnya juga bisa karena bencana alam, khususnya kebakaran.
Menurut Iskandar, umoh laheik atau umoh panja adalah rumah-rumah rakyat, yang ditempati oleh keluarga-keluarga. Jadi, keberadaannya bukanlah sebagai rumah adat seperti halnya rumah gadang di Sumbar. Untuk rumah adat, mereka punya sendiri yang disebut umoh sko.
Umoh laheik, katanya, dibangun sambung-menyambung satu dengan yang lainnya sehingga menyerupai gerbong kereta yang sangat panjang, sepanjang larik atau lorong desa, dibangun di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan.
Konstruksinya tanpa menggunakan fondasi permanen, hanya tumpukan batu alam tempat tiang ditenggerkan, juga tanpa menggunakan paku, hanya mengandalkan pasak dan ikatan tambang ijuk. Atapnya pada masa awalnya bukan seng atau genteng seperti masa sekarang, melainkan hanya jalinan ijuk. Dindingnya dulu adalah pelupuh (bambu yang disamak) atau kelukup (sejenis kulit kayu). Lantainya papan yang di-tarah dengan beliung. Material-material itu tidaklah memberatkan rumah.
“Di rumah panggung tersebut, tempat tinggal tumbi (keluarga besar) adalah di bagian atas, dengan sistem sikat atau sekat-sekat seperti rumah bedeng di zaman sekarang ini. Setiap keluarga menempati satu sikat yang terdiri dari kamar, ruang depan, ruang belakang, selasar, dan dapur,” papar Iskandar.
Setiap sikat memiliki dua pintu dan dua jendela, yakni bagian depan dan belakang. Material pintu adalah papan tebal di-tarah beliung. Di antara sekat sikat terdapat pintu kecil sebagai penghubung.
Jendela yang disebut singap sekaligus merupakan ventilasi angin dibuat tidak terlalu lebar, tanpa penutup seperti layaknya rumah modern saat sekarang, hanya dibatasi jeruji berukir. Kala malam sinap itu hanya ditutup dengan kain horden.
Sementara bagian bawah yang disebut umin sering hanya sebagai gudang tempat menyimpan perkakas pertanian, seperti imbeh, jangki, dan jala, atau terkadang juga menjadi kandang ternak seperti ayam, bebek, kelinci, kambing, dan domba. Tak jarang juga dibiarkan kosong melompong menjadi arena tempat bermain anak-anak.
Di bagian atas loteng terdapat bumbungan yang disebut parra. Atap di dekat parra itu biasanya dibuat lagi singap kecil yang bisa buka-tutup, yang disebut hintu ahai (pintu hari atau pintu matahari). Di situlah keluarga bersangkutan sering menyimpan sko (benda-benda pusaka) keluarganya.
Di luar rumah, tepatnya di depan pintu, biasanya terdapat beranda panggung kecil yang disebut pelasa, yang langsung terhubung dengan jenjang atau tangga. Di situ pemilik rumah sering berangin-angin sepulang kerja. Bahkan, tak jarang para tamu pria sering dijamu duduk di atas bangku sambil minum sebuk kawo dan mengisap rokok lintingan daun enau.
Bagian halaman depan rumah sering dipenuhi oleh tumpukan batu sungai sebagai teras sehingga rumah terkesan tidak berpekarangan.
Pekarangan rumah keluarga tersebut sebenarnya berada di halaman belakang yang biasanya sangat luas dan panjang.
Model dan konstruksi arsitektur rumah rakyat itu, kata Sikandar, dapat mencerminkan betapa masyarakat sangat mengutamakan semangat kekerabatan, kebersamaan, dan kegotongroyongan dalam kehidupannya sebagai falsafah pegangan hidup manusia sebagai makhluk sosial.
“Namun, pada masa sekarang keberadaan rumah-rumah tradisional rakyat itu kian hilang karena keluarga pemilik atau ahli warisnya telah menggantinya dengan bangunan beton yang dinilai lebih modis dan modern,” keluh Iskandar.
Sementara sikat-sikat yang masih tersisa lebih karena pemiliknya belum punya uang yang cukup untuk merenovasi rumahnya, atau ahli waris rumah itu tengah berada di negeri orang sebagai perantau sehingganya sisa sikat rumah itu menjadi bagian umoh laheik yang masih ada di situ.
Dulu, kata Iskandar, hampir semua desa induk di Kerinci memiliki tipe umoh laheik yang sama, seperti di Sungaipenuh, Kumun, Tanjung Pauh, Tanah Kampung, Rawang, Semurup, Siulak, Kemantan, Koto Majidin, Jujun, Pulau Tengah, Lolo, Lempur, Seleman, Cupak, dan Sebukar. Namun, sekarang sulit ditemukan rumah dalam keadaan utuh. Yang masih tersisa justru terbengkalai tak terawat sehingga terlihat seperti rumah nenek sihir yang menyeramkan di antara rumah-rumah beton menyerupai istana di sekitarnya.
“Apalagi hingga saat ini tidak ada satu pun rumah tradisional Kerinci yang ditetapkan menjadi benda cagar budaya. Kondisi itu lebih mempercepat punahnya keberadaan umah laheik dari bumi Sakti Alam Kerinci,” ucap Iskandar.

Mandi Blimau


JAMBI, JAMBITOURISM.CO.ID–Warga  Desa Dusun Baru Semurup Kecamatan Air Hangat, Kabupaten Kerinci, Jambi, Minggu (20/3) menggelar tradisi “Mandi Blimau” yang diselenggarakan Balai Adat tiga tahun sekali.
“Seluruh warga masyarakat, besar kecil, tua muda, pria wanita, mengikuti tradisi `Mandi Blimau` yang digelar di `Umah Gdang` yang merupakan rumah adat Desa Sumurup di Dusun Baru,” ungkap salah seorang tokoh pemuda Septa (25) saat dihubungi di Kerinci, Rabu.
Mandi Blimau (mandi air jeruk) tersebut adalah tradisi masyarakat yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat setempat yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali.
“Warga yang tak ikut serta akan merasa terkucil dari komunitas masyarakat mereka sendiri, karena itu mereka semua merasa harus ikut upacara yang hanya digelar sekali dalam tiga tahun tersebut,” katanya.
Prosesi upacara tersebut dipimpin oleh Depati Hatur Negeri yang merupakan pemimpin tertinggi dalam tatanan adat mereka. Semua warga mengantri disiramkan air bersih yang telah diberi limau atau jeruk beraneka jenis.
Sedikitnya ada tujuh jenis jeruk yang belah-belah dan dicampurkan ke air bersih tersebut, beberapa di antaranya jeruk manis, jeruk purut, jeruk kunci (jeruk kecil), jeruk Bali, dan jeruk salam.
Sembari memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT setiap warga dimandikan oleh Depati satu persatu. Untuk dapat dimandikan mereka mengantri dengan tertib di hadapan Depati.
“Sejak subuh warga berdatangan dan berkumpul di halaman Umah Gedang, yakni rumah Adat yang merupakan Istana para depati, sekaligus merupakan Museum Sko (harta pusaka) desa-desa dan suku-suku di Kerinci,” ujarnya.
Septa juga meluruskan asumsi sebagian golongan yang mengecam ritual tersebut syirik dalam ajaran agama Islam.
“Ritual tersebut bukan bagian mutlak dari syariat agama Islam yang dianut 100 persen oleh masyarakat Semurup. Ini  tradisi yang tidak berlawanan dengan syariat agama. Esensinya pelestarian nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan,” katanya.
Sumber : antaranews.com

Penulis : Rhory Andhika ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Wisata Budaya Kerinci ini dipublish oleh Rhory Andhika pada hari Selasa, 28 Februari 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Wisata Budaya Kerinci
 
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar