Selain terkenal karena pesona dan keindahan alamnya, tidak dapat dipungkiri banyak juga tempat Pariwisata di Indonesia semakin terkenal dan diminati setelah mendengar cerita-cerita legenda yang ada ditempat tersebut.
Seperti yang terdapat di tempat wisata di sekitar Gunung Kerinci, Provinsi Jambi. Ekotisme Kabupaten Kerinci, Jambi, yang ditetapkan sebagai kabupaten wisata oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak saja terpancar dari alamnya yang elok atau budaya masyarakatnya yang unik.
Kawasan wisata kerinci juga dibumbui cerita tentang sosok makluk misterius yang oleh masyarakat setempat disebut “orang pandak” (orang pendek).
Kemisteriusannya mirip keberadaan “yeti” di Pegunungan Himalaya dan “big foot” di hutan Amerika-Meksiko. Warga menyakini keberadaan mahkluk itu walau sulit dibuktikan keberadaannya.
Sosok berwujud aneh yang konon hidup di dalam kawasan rimba belantara Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya di Blok Gunung Tujuh, itu menjadi magnet khusus bagi wisatawan dan peneliti internasional.
Banyak turis, pecinta alam, dan ilmuan yang datang ke Kerinci bermaksud meneliti atau sekadar ingin bertemu makluk tersebut, kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kerinci Arlis Harun.
“Setidaknya, mereka sudah senang jika bertemu dengan tanda-tanda keberadaan makhluk itu,” katanya.
Berpuluh tahun sudah hal tersebut jadi perbincangan dan buruan ilmuwan. Namun keberadaan makluk tersebut terus misterius hingga memunculkan anggapan sinis publik bahwa cerita itu hanya mitos.
Penduduk setempat mengakui keberadaan orang pandak tersebut karena mereka sering bertemu walau secara tak sengaja.
Masyarakat Kerinci memiliki banyak sebutan untuk orang panda. Ada juga yang menyebutnya sebagai makhluk sedepo (sedepa) dan piraw. Disebut sedepo karena memang ukuran tubuh makluk itu tidak sampai satu depa.
Masyarakat Melayu Jambi menyebut makhluk itu dengan piraw karena bisa meniru berbagai bahasa dan bunyi manusia atau makluk lain, lalu berkomunikasi dengan bahasa atau bunyi itu dengan fasih.
Selain itu, mahkluk itu disebut juga punya kemampuan telepatis (komunikasi supranatural), telekinetis (menggerakkan atau mendiamkan benda-benda dengan pikiran dan tatapan), dan teleportis (berpindah dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain).
Meneliti
Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Jambi Guntur mengatakan, ilmuan yang paling lama meneliti keberadaan orang pandak adalah Deborah.
Ilmuan asal Inggris itu pada 1994 hingga 1998 menetap di Kerinci bekerja di bawah naungan organisasi lingkungan WWF dan Balai Besar TNKS.
“Saya pemandunya waktu itu. Deborah selama penelitiannya berhasil mengumpulkan bukti-bukti keberadaan makluk itu berupa foto jejak kaki yang amat mungil dan rekaman kelebat makluk kecil yang sangat tidak bisa diidentifikasi sebagai hewan,” kata Guntur menjelaskan.
Bagi warga Kerinci, orang pandak bukan mitos. Mereka mengaku kerap bertemu dengan makluk yang memiliki kaki terbalik itu dalam kegiatan keseharian mereka, khususnya bagi mereka yang menjadi petani dan pemburu. Pertemuan berlangsung di ladang atau di tengah hutan.
Para pendaki gunung pun banyak yang mengaku pernah berjumpa dengan mahkluk tersebut walaupun mereka baru menyadarinya belakangan.
Ketika bertemu, begitu cerita yang beredar, para pendaki umumnya tidak menyadari keberadaan makhluk itu, karena berdasarkan pengakuan mereka mahkluk itu lebih mirip dengan kera.
Manajer Lapangan Pelestarian Harimau Sumatera TNKS Dian Risdianto mengakui cerita tentang misteri orang pandak memang menarik minat para ilmuan internasional untuk menelitinya.
Namun hingga kini keberadaan mahkluk tersebut masih tetap misterius, kata dia, pasalnya para petugas Polhut yang berpatroli dan mengaku berjumpa makluk itupun tidak punya bukti.
“Secara ilmiah, kita menduga makluk tersebut mungkin tarsius, sejenis monyet terkecil di dunia yang hanya sebesar katak, yang juga ditemukan ada dalam rimba TNKS,” katanya.
Di lain sisi, kata Irvan, TNKS memang menyimpan jutaan misteri yang mulai tergali satu per satu berkat penelitian. “Ini bukti kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki dan tersembunyi dalam TNKS Kerinci menungu untuk digali dan terus diteliti,” ujarnya.
Hasil penelitian itu, misalnya tarsius, yang sebelumnya dilaporkan hanya ditemukan di hutan Amazon di Brasil, di hutan Papua, dan di Sulawesi, ternyata juga ada di TNKS.
Yang baru terungkap di TNKS adalah ditemukannya kembali kucing emas, satwa langka yang sebelumnya dinyatakan telah punah.(ant/hms)